Oleh: Laksda (Purn) TNI Soleman B. Ponto, ST, MH.
Kepala Badan Intelijen Strategis TNI (2011-2013)
Pada tanggal 11 September 2001 dunia dikejutkan dengan adanya serangan terhadap menara kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Arlington Amerika Serikat. Menyusul kemudian tidak ketinggalan pula Indonesia ikut diserang. Beberapa serangan aksi teror yang mengguncangkan masyarakat Indonesia antara lain Legian Bali yang dibom pada tanggal 12 Oktober 2002, teror bom buku serta bom bunuh diri yang dilakukan pada tanggal 15 April 2011, saat Sholat Jum’at di Mesjid Az-Dzikro di Markas Polresta Cirebon, bom Thamrin dan terakhir bom di Kantor Polisi Solo sebelum Hari Raya Lebaran minggu lalu.
Berbagai kejadian itu membuat masyarakat dunia dan masyarakat Indonesia tersadarkan bahwa ”aksi teror” adalah musuh bersama yang harus ditanggulangi bersama. Kesadaran itu pada akhirnya menggiring pemerintah Indonesia untuk menanggulangi aksi teror dengan membuat Undang-undang RI nomor 34 tahun 2004 tentang TNI dan Undang-undang RI nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme.
Dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang ada itu sudah banyak pelaku aksi teror yang ditangkap, diadili dan dihukum. Namun pada kenyataannya, aksi teror masih terus terjadi. Hal itu merupakan bukti bahwa aksi teror tidak bisa diberantas hanya dengan melakukan Penindakan, baik itu tindakan menangkap, menghukum bahkan membunuh para pelaku aksi teror, akan tetapi kegiatan pencegahan tidak kalah pentingnya harus pula dilaksanakan. Dengan demikian untuk penanggulangan aksi teror meliputi 2 (dua) kegiatan yaitu PENINDAKAN dan PENCEGAHAN.
Penindakan Terorisme
Untuk melakukan penindakan,pemerintah Indonesia telah mengeluarkan dua Undang-undang yaitu Undang-undang RI nomor 34 tahun 2004 tentang TNI dan Undang-undang RI nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, memberikan kewenangan kepada TNI untuk menindak aksi teror. Tata cara penindakan aksi teror itu diatur dalam beberapa pasal yaitu pasal 5, pasal 6, pasal 7 dan pasal 18.
Dalam Pasal 7 telah diatur dengan jelas tentang tugas pokok TNI dan cara menjalankan serta persyaratan yang harus dipenuhi ketika akan menjalankan tugas itu. Dalam melaksanakan tugasnya menegakkan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah serta menyelamatkan bangsa, TNI melaksanakannya dengan cara melakukan operasi militer, yang bentuknya terdiri dari Operasi Militer untuk Perang (OMP) maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Cara OMSP dilaksanakan salah satunya adalah untuk mengatasi terorisme.
Dalam melaksanakan kedua bentuk operasi itu tidak bisa dilakukan secara otomatis, tetapi dibutuhkan satu persyaratan yaitu adanya kebijakan dan keputusan politik negara, sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 5 dan Pasal 7 ayat 3 dalam Undang-undang yang sama.
Dijelaskan juga dalam pasal 5 bahwa pelaksanaan tugas TNI harus selalu atas sepengetahuan dan seijin DPR. Setiap pelaksanaan operasi militer baik untuk perang maupun selain perang, harus seijin dan sepengetahuan DPR. Oleh karena itu untuk melakukan operasi dalam rangka mengatasi terorisme harus mendapat izin dan persetujuan dari DPR terlebih dahulu.
Sesuai dengan pasal 6 pada dasarnya TNI difungsikan untuk menangkal dan menindak segala bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata baik dari dalam maupun luar negeri, serta sebagai pemulih kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan. Fungsi TNI sebagai penindak segala bentuk ancaman militer diperkuat dan sudah sesuai dengan Undang-undang RI Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara pada pasal 7 ayat 2 yang berbunyi :
“Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.”
Dalam pasal 18 dijelaskan bahwa operasi pemberantasan terorisme adalah karena aksi teroris termasuk salah satu diantara ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata. Presiden untuk melakukan pemberantasan terorisme dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI tanpa meminta persetujuan DPR terlebih dahulu. Namun, setelah waktu 2 x 24 jam Presiden harus melaporkan pengerahan kekuatan TNI tersebut kepada DPR. Selanjutnya apabila DPR tidak menyetujuinya maka operasi tersebut harus dihentikan.
Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, memberikan kewenangan kepada Polri untuk menindak para pelaku aksi teror. Pada pasal 6 telah dinyatakan bahwa pelaku teror dipidana maksimal pidana mati. Yang perlu mendapat perhatian pada Undang-undang tersebut adalah kata dipidana.
Kata dipidana membawa konsekuensi bahwa para pelaku teror harus dihukum, bukannya langsung dibunuh. Para pelaku teror nanti dibunuh berdasarkan proses persidangan, bukan dibunuh dalam proses penangkapan atau di dalam proses penghentian aksi teror. Dengan demikian, para pelaksana amanat Undang-undang RI tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan pelakunya terbunuh. Para pelaksana harus berusaha agar supaya pelaku aksi teror itu tertangkap hidup-hidup, bukannya terbunuh.
Apabila tidak sanggup untuk menangkap hidup-hidup para pelaku aksi teror, maka hal itu harus segera dilaporkan kepada Presiden atau kepada Menkopolhukam dan DPR. Sehingga selanjutnya Presiden dapat segera memberi perintah kepada TNI atau keputusan politik dapat segera diambil oleh pemerintah dalam hal ini Menkopolhukam dan DPR untuk segera menugaskan TNI dalam menindak aksi teror tersebut.
Dari isi kedua Undang-undang itu terlihat jelas Perbedaan Pelaksanaan penindakan aksi terorisme antara Undang-undang RI Nomor 34 Tahun 2004 dengan Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 2003. Perbedaan itu adalah seperti yang disampaikan dibawah ini.
TNI dalam memberantas terorisme dilakukan dengan cara melaksanakan Operasi Militer dalam bentuk Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang harus mendapat persetujuan DPR sebelumnya atau dapat segera melaksanakan operasi atas perintah presiden. Namun, dalam waktu 2 x 24 jam Presiden harus melaporkan operasi ini kepada DPR. Bilamana DPR tidak menyetujuinya, maka operasi harus segera dihentikan.
Cara memberantas terorisme yang dilakukan oleh TNI dilakukan dengan cara operasi militer yang dalam pelaksanaannya pelaku aksi teror boleh terbunuh. Hal tersebut dikarenakan dalam operasi militer yang ada hanya membunuh atau dibunuh. Sedangkan pelaksana yang lain dalam mengatasi aksi teror harus dapat menangkap hidup-hidup pelaku aksi teror tersebut, untuk kemudian dibawa ke pengadilan guna mendapatkan hukumannya.
Peran Intelijen termasuk Intelijen TNI dalam konteks upaya penindakan aksi teror adalah mengidentifikasi pelaku aksi teror, melokalisirarea, menentukan sasaran, mengamankan lingkungan sekitar sasaran kemudian memberi informasi kepada unsur-unsur pemukul.
Paska tindakan eksekusi dilakukan, maka aparat Intelijen tetap melakukan monitoring terhadap wilayah tersebut dan membantu masyarakat di wilayah itu untuk lebih peduli dalam menjaga keamanan lingkungannya. Kondisi ini perlu dilaksanakan mengingat ruang gerak terorisme sebagian besar berada di bawah tanah dan ideologi mereka sulit untuk dihilangkan begitu saja. Di daerah kritis, Intelijen harus lebih tajam dan menguatkan jaringan karena upaya penindakan dapat menimbulkan serangan balik.
Pencegahan Terorisme
Pencegahan aksi teror adalah segala kegiatan yang dilakukan untuk menghilangkan niat serta menghilangkan kemampuan para teroris dalam melakukan aksi teror. Untuk itu maka unsur-unsur yang dapat mendukung terbentuknya organsisasi teroris sepertirekrutmen, pendidikan, latihan, keuangan, logistik, komando dan pengendalian, jaringan/network, daya pemersatu, pemimpin/tokoh, sanctuary/safe haven harus ditemukan, diputuskan mata rantainya dan ditiadakan. Untuk menemukan, memutus dan meniadakan unsur-unsur pendukung terbentuknya organisasi teror ini diperlukan intelijen. Dalam hal inilah peran intelijen termasuk intelijen TNI sangat diperlukan karena hal ini hanya bisa dilakukan oleh intelijen.
Unsur-unsur pendukung terbentuknya organisasi teroris ini terdapat diseluruh lapisan masyarakat, baik itu masyarakat Indonesia maupun masyarakat dunia. Oleh karena itu untuk menemukannya diperlukan adanya organisasi Intelijen yang besar.
Intelijen TNI terstruktur dengan rapi, mengikuti struktur organsisasi TNI, karena intelijen adalah fungsi komando. Dengan demikian, petugas intelijen TNI di dunia Internasioal tersebar pada 32 negara mengikuti struktrur kantor Atase Pertahan RI dan di dalam negeri tersebar sampai di desa desa melalui struktur organisasi TNI AD, pada Kodam, sampai Babinsa; struktur organisasi TNI AL pada Koarma sampai Lanal dan struktur organisasi TNI AU pada pangkalan-pangkalan udara.
Besarnya organisasi dan banyaknya personil TNI yang bekerja pada organsisasi Intelijen TNI dengan sendirinya memperbesar pula kemungkinan penemuan hal-hal yang dibutuhkan,– bukan saja untuk dalam rangka melaksanakan pencegahan, tetapi juga untuk pelaksanaan penindakan, seperti menemukan tempat persembunyian pelaku aksi teror.
Selain itu, intelijen TNI sebagai bagian dari organisasi TNI adalah membantu pimpinan dalam menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan dengan memberikan gambaran, masukan serta saran dan kemungkinan adanya ancaman teroris baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Peran intelijen TNI disini tidak terlepas dari “Intelijen sebagai fungsi komando“, artinya Intelijen TNI merupakan alat dari para komandan dan pimpinan TNI dalam melaksanakan tugas pokoknya.
Intelijen, kemampuannya tidak hanya sebagai pengumpul data, tapi juga sebagai petempur senyap melalui kemampuan infiltrasi untuk melakukan sabotase. Dengan demikian bila Pimpinan TNI meyakini bahwa keberadaan suatu kelompok teroris sudah tidak bisa ditolerir lagi, maka ia dapat memanfaatkan kemampuan unsur Intelijennya untuk melaksanakan operasi intelijen secara senyap terhadap kelompok teroris manapun serta para pendukungnya tanpa harus menunggu kebijakan dan keputusan politik negara.
Bila suatu saat perintah operasi khusus itu bocor kemana-mana, maka Pimpinan TNI dapat saja menyangkal bahwa tidak ada perintah dari Pimpinan. Personil inteljen yang melaksanakan operasi itu pasti akan mengakui bahwa operasi itu atas inisiatif sendiri dan siap menerima resiko apapun sesuai dengan semboyan yang selalu dipegang teguh yaitu : Berangkat tugas dianggap mati, hilang tidak dicari, kalah dicaci maki dan menang tidak dipuji. Itulah pengabdian personil intelijen sejati terhadap negara tercinta.
Demikian tulisan ini dibuat dengan harapan dapat bermanfaat bagi kita didalam melanjutkan pengabdian kepada bangsa dan negara tercinta ini. Semoga Tuhan YME senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua.